Pajak Bukan Sekadar Angka: Menagih Keadilan dan Transparansi dalam Hukum Fiskal
3 jam lalu
Ketajaman hukum kita seolah tumpul di hadapan skema-skema transfer pricing yang kompleks
Oleh: Indah Putri Susanti, Mahasiswi Universitas Pamulang
Disparitas Kepatuhan: Beban Otomatis Wajib Pajak Kecil
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara seringkali hanya dipahami sebagai kewajiban yang harus ditunaikan tanpa pertanyaan. Fenomena ini paling jelas terlihat pada Pemotongan PPh 21.
Bagi karyawan, kewajiban fiskal adalah sebuah kepastian yang otonom dan tidak terhindarkan. Uang dipotong di muka, rapi, dan otomatis, menjamin kepatuhan yang nyaris sempurna dari kelompok pekerja bergaji. Ironisnya, hukum pajak terasa sangat efisien dalam memungut dari gaji bulanan, tetapi justru kehilangan taring ketika berhadapan dengan wajib pajak besar atau korporasi yang memiliki kemampuan menyewa konsultan terbaik demi mencari celah hukum (tax loopholes) untuk tax avoidance (penghindaran pajak).
Ketidakseimbangan inilah yang menciptakan krisis keadilan dalam sistem hukum pajak kita. Ketajaman hukum kita seolah tumpul di hadapan skema-skema transfer pricing yang kompleks, sementara ia sangat mudah mencekik leher wajib pajak pribadi atau UMKM yang baru merintis.
Pertanyaan dasarnya bukan lagi soal berapa banyak penerimaan negara, melainkan: Apakah kerangka hukum pajak kita benar-benar menjamin keadilan yang setara bagi semua subjek pajak?
Krisis Kepercayaan Publik
Hukum pajak dibangun di atas asas kepercayaan dan gotong royong. Kita sebagai warga negara rela berkontribusi dengan harapan uang itu akan dikelola secara efisien untuk pembangunan. Namun, kepercayaan ini rusak ketika kasus-kasus penyelewengan dana atau pemborosan kekayaan oleh oknum pejabat pajak terungkap ke publik. Kasus-kasus tersebut mengirimkan pesan yang sangat merusak: bahwa kepatuhan kita justru mendanai privilege dan gaya hidup mewah segelintir orang, alih-alih fasilitas publik.
Krisis kepercayaan ini, jika dibiarkan, adalah ancaman terbesar bagi keberlanjutan sistem perpajakan. Negara tidak bisa hanya berfokus pada ekstensifikasi (memperluas objek pajak) dan intensifikasi (meningkatkan kepatuhan), tanpa diimbangi oleh transparansi dan akuntabilitas total. Masyarakat berhak tahu, secara rinci dan mudah dicerna, bagaimana setiap rupiah pajak mereka benar-benar kembali dalam bentuk manfaat nyata.
Urgensi Reformasi Hukum di Era Digital
Reformasi hukum pajak yang kita butuhkan saat ini harus berani menembus batas-batas tradisional dan merespons cepat terhadap disrupsi teknologi. Isu pajak digital (PPh dan PPN atas transaksi e-commerce, aset digital, dan jasa lintas batas) membuktikan bahwa regulasi kita sering tertinggal dari kecepatan inovasi.
Penegakan hukum harus dipertajam dengan dua fokus utama:
Sanksi Pidana yang Menggentarkan: Hukuman bagi tax evasion berskala besar, terutama yang melibatkan skema korporasi, harus lebih berat. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh hanya menjadi biaya bisnis (cost of doing business) melainkan harus menimbulkan efek jera yang sesungguhnya, termasuk ancaman penjara yang lama dan perampasan aset.
Transparansi Anggaran Digital: Pemerintah harus membuka dashboard penggunaan dana pajak secara real-time dan interaktif. Mekanisme akuntabilitas ini akan mengembalikan kontrol sosial ke tangan rakyat dan memaksa setiap lembaga negara bertanggung jawab atas alokasi anggarannya.
Hukum pajak harus berevolusi dari sekadar alat kasir negara menjadi instrumen keadilan sosial yang tajam dan tak pandang bulu. Selama ketidakadilan ini masih terasa, semangat gotong royong dalam membayar pajak hanya akan menjadi slogan semata, sementara wajib pajak kecil tetap menjadi tiang penopang yang paling rentan dan paling patuh. Reformasi sejati adalah jaminan bahwa kepatuhan akan dibalas dengan keadilan, bukan pengkhianatan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler